Self-harm: Apa, Mengapa, dan Cara Menghentikan #MentalHealthRangerSatuPersen

Manusia itu mahkluk yang memiliki dan mampu mengekspresikan emosi yang dimiliki. Dilansir dari video Satu Persen yang berjudul "Tips Mengontrol Emosi dan Sifat Senistif (Belajar Psikologi: Seri Emosi Manusia)", emosi yang dirasakan oleh manusia itu bersifat otomatis, tetapi respons perilaku dari emosi yang dirasakan itu yang dapat dikontrol secara sadar oleh manusia. Kalau kita sedang merasa bahagia, kebanyakan dari kita mengekspresikannya dengan tersenyum atau tertawa. Kalau kita sedang merasa sedih, kita menjadi murung, malas mengerjakan tugas, atau menangis. Kalau sedang merasa marah, kita biasanya berbicara dengan nada yang tinggi.


emosi manusia



   
Pengekspresian emosi merupakan hal yang wajar untuk kita lakukan karena memang kita dianugrahi kemampuan tersebut. Akan tetapi, tahukah, Anda? Terkadang ada beberapa dari kita yang tidak bisa mengontrol respons perilaku dari emosi yang dirasakan, emosi diekspresikan dengan cara yang kurang normal dan kurang sehat, salah satu contohnya ialah self-harm. Hal tersebut didasari oleh berbagai macam alasan yang nantinya akan saya bahas lebih lanjut.

Apa itu self-harm?


Self-harm didefinisikan sebagai tindakan menyakiti fisik sendiri yang disengaja dan disadari tanpa ada maksud untuk bunuh diri (Herpretz dalam Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Self-harm ini dilakukan dengan berbagai metode, seperti menyayat diri sendiri, memukul diri sendiri, mematahkan tulang sendiri, melakukan perilaku sembrono, menarik rambut sendiri, mogok makan dan minum, dan masih perilaku-perilaku lainnya dengan maksud menyakiti diri sendiri. Perilaku self-harm yang umum ditemui, yakni self-harm dalam bentuk menyayat diri sendiri (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). 


self-harm



Mengapa self-harm dilakukan?


Self-harm dilakukan karena cara ekspresi emosi yang sehat belum bisa benar-benar membuat pelaku meluapkan emosiya. Level emosi yang dirasakan oleh pelaku self-harm kebanyakan berupa emosi yang bersifat negatif (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Emosi yang umum dirasakan pelaku berupa rasa marah, frustasi, kesepian, dan depresi. Emosi negatif yang dirasakan berkurang ketika pelaku melakukan self-harm dan sesudah pelaku melakukan self-harm. Akan tetapi, setelah melakukan self-harm, ternyata pelaku juga merasakan rasa bersalah, malu, dan jijik  (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Hal ini menandakan bahwa sebenarnya pelaku self-harm sadar perilaku yang ia lakukan tersebut tidak benar atau bisa jadi pelaku self-harm mearasakan emosi negatif tersebut karena norma di masyarakat yang menganggap perilaku self-harm merupakan perilaku yang dianggap salah. Walaupun begitu, setelah melakukan self-harm pelaku merasa lebih lega karena emosi yang tidak bisa diluapkan dengan cara yang normal akhirnya bisa dia lepaskan. Asumsi ini didukung oleh penelitian Nixon et al. dalam Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl (2005) yang menemukan kalau self-harm itu strategi yang efektif bagi pelaku untuk meregulasi emosi negatif, terutama emosi negatif yang tidak dapat ditahan lagi oleh pelaku. Pelaku menganggap self-harm sebagai bentuk regulasi emosinya: mengurangi rasa depresi, cemas, stress, dan marah; menghukum diri sendiri; kesepian atau dikucilkan; dan distraksi sementara dari masalah yang sedang dihadapi  (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Menariknya, perempuan yang melakukan self-harm lebih sering dilatarbelakangi oleh motivasi untuk meregulasi emosi negatif dibandingkan pelaku laki-laki (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl (2005) menemukan kalau pelaku self-harm perempuan lebih sering menginternalisasi emosi yang dirasakan sehingga mereka kesulitan untuk melampiaskan emosinya dalam cara yang sehat, sedangkan pelaku self-harm laki-laki lebih cenderung mengekstenalisasi emosinya, motivasi self-harm juga terkadang dimotivasi oleh sekedar rasa bosan. Pelaku perempuan biasanya melakukan self-harm dalam kondisi ketika sedang sendiri, sedangkan pelaku laki-laki bisa melakukannya ketika sedang bersama grup teman sebayanya, misalnya karena ditantang teman sebayanya unuk membuktikan seberapa “tangguh” dia  (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005).


rasa frustasi sebabkan self-harm

Akan tetapi, hanya karena strategi self-harm dianggap efektif oleh pelaku untuk mengontrol emosi yang tidak bisa ditahan, bukan berarti self-harm merupakan strategi yang sehat untuk dilakukan. Self-harm merupakan salah satu bentuk dari mekanisme koping yang bersifat maladapif. Koping maladaptif bisa memberikan dampak negatif pada kesejahteraan mental kita. Selain itu, self-harm bisa sebabkan kematian. Kerusakan tubuh yang ditimbulkan oleh self-harm bisa berdampak merenggut nyawa pelaku. Misalnya, mungkin yang awalnya hanya menyayat diri berupa luka yang dangkal dan tidak mematikan, tetapi seiring bertambhanya waktu dan adrenalin pelaku, sayatan yang pelaku buat di dirinya bisa lebih dalam hingga sebabkan kematian karena kehilangan darah.


self-harm sebabkan kematian

Selain itu, self-harm bisa sebabkan munculnya ide bunuh diri pada remaja (Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl, 2005). Orang yang melakukan self-harm memiliki ekspetansi hidup yang lebih rendah daripada orang yang tidak melakkannya (Chan et al., 2016). Ekspetansi hidup yang rendah bisa menjadi faktor yang dapat memprediksi resiko bunuh diri pada seseorang (Chan et al., 2016). Maka dari itu, self-harm bukanlah strategi yang sehat untuk meregulasi emosi individu.


Cara menghentikan self-harm


Telah diketahui kebanyakan perilaku self-harm yang terjadi dikarenakan pelaku tidak bisa mengendalikan emosi negatifnya dengan cara yang sehat. Berikut tips yang berupa cara mengendalikan emosi  akan saya sajikan dari sumber-sumber yang juga dapat dipercaya.

Pertama, kita bisa mengendalikan emosi melalui dengan cara yang lebih tenang dan privat. DeFoore (2007) megungkapkan kita bisa menarik napas ketika sedang mengalami emosi yang sedang bergejolak. Ketika kita sedang merasa emosi kita akan meledak dan sudah tidak bisa ditahan, kita bisa coba untuk mengambil napas panjang sampai merasa emosi yang dirasakan mereda.


menarik napas panjang

Kedua, DeFoore (2007) menyarankan agar Anda menulis permasalahan dan perasaan yang membuat Anda merasa ingin “meledak” ke dalam jurnal. Anda bisa menganggap jurnal tersebut seperti teman dekat untuk berbagi cerita. Anda bisa tulis semua hal yang membuat Anda merasakan emosi-emosi yang ada di dalam diri.


jurnal untuk meluapkan emosi

Kalau Anda merasa tips meredakan emosi tersebut masih kurang pas dengan gaya Anda dalam melampiaskan emosi, DeFoore (2007) menyediakan tips untuk melampiaskan emosi dengan mengeluarkan energi fisik dalam tubuh. DeFoore (2007) menyebutnya dengan nama “The Power Position”. Anda bisa memosisikan tubuh Anda untuk berlutut di atas kasur atau matras yang empuk. Kalau sudah berlutut di atas kasur, Anda bisa mulai meninju kasur sampai emosi Anda  mereda. DeFoore (2007) juga menyajikan alternatif dari “The Power Position” apabila Anda memiliki sakit punggung. Posisi tersebut kurang dapat dipraktikkan untuk orang yang memiliki kelemhan di punggungnya. DeFoore (2007) menamai alternatif tersebut dengan sebutan “The Tantrum Technique”. Untuk melakukan posisi tersebut Anda bisa mulai dengan mengambil posisi seperti ketika hendak tidur di atas kasur. Lalu, tekuk lutut Anda dan letakkan telapak kaki di atas kasur. Kalau sudah, Anda bisa mulai meninju, bahkan mendendang ke udara sampai Anda merasa semua emosi Anda reda. 


meninju benda mati untuk luapkan emosi

Selanjutnya, Defoore (2007) juga menyajikan tips regulasi emosi dengan cara vokal. Anda bisa teriak sekeras mungkin sampai perasaan Anda terasa lega. Kalau Anda sedikit pemalu atau tidak ingin mengganggu orang di sekitar Anda, Anda bisa teriak dengan membekap mulut dengan bantal supaya suara teriakan Anda teredam.

berteriakuntuk meluapkan emosi

Perlu dipahami tips-tips yang saya tuliskan dalam artikel ini, mungkin bisa tidak bekerja dan masih belum memberi kelegaan yang dicari. Apabila Anda merasa tips-tips tersebut tidak bekerja dengan baik atau Anda masih merasa kesulitan dalam mengatur emosi tanpa melakukan self-harm, ada baiknya untuk mencari bantuan profesional, baik secara daring maupun tatap muka. Kalau Anda ingin mencoba bantuan profesional daring, Anda bisa coba mengunjungi website Satu Persen yang menyediakan tes secara daring dan layanan mentoring.


#MentalHealthRangerSatuPersen

Layanan mentoring:

https://satupersen.net/layanan/konsultasi/konseling

Tes Online: 

https://satupersen.net/quizzes

Baca juga:

https://satupersen.net/blog/cara-mengontrol-emosi-melalui-regulasi-emosi-diri-sendiri

https://satupersen.net/blog/marah-adalah-bagian-dari-kita



Referensi penulisan artikel:

Chan, M. K., Bhatti, H., Meader, N., Stockton, S., Evans, J., Oconnor, R. C., . . . Kendall, T. (2016). Predicting suicide following self-harm: Systematic review of risk factors and risk scales. British Journal of Psychiatry, 209(4), 277-283. doi:10.1192/bjp.bp.115.170050

DeFoore, W. G. (2007). Anger Management Techniques [2014]. Retrieved March 23, 2021, from https://defoore.com/pdf/AngerMgmtTechniquesEbook.pdf

(2020, April 02). Retrieved March 23, 2021, from https://www.youtube.com/watch?v=oUDDOZZHen8

Laye-Gindhu, A., & Schonert-Reichl, K. A. (2005). Nonsuicidal Self-Harm Among Community Adolescents: Understanding the “Whats” and “Whys” of Self-Harm. Journal of Youth and Adolescence, 34(5), 447-457. doi:10.1007/s10964-005-7262-z













Komentar

Postingan Populer